Ini Deretan Tari Sakral di Bali yang Dilarang untuk MURI & Tak Boleh Dipentaskan di Hotel 

: 18 Sep 2019

Dikutip dari tribun-bali.com,

Sonora Bali 98,9 FM – Tari Barong Ket dan sejumlah tari sakral lainnya kini dilarang untuk dipentaskan atau dipertontonkan di hotel-hotel atau tujuan komersial lainnya, terlebih untuk pemecahan rekor MURI.

Larangan tersebut tercantum dalam Surat Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali.

“Tari sakral tidak boleh dipentaskan di sembarang tempat, apalagi digunakan di hotel, apalagi untuk mendapatkan rekor MURI. Menurut saya ini sudah desakralisasi, bergeser jauh.

SKB Keputusan Bersama tersebut ditandatangani oleh Ketua PHDI Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, Bendesa Agung Majelis Desa Adat Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Bali Prof Dr I Made Bandem, Kepala Dinas Kebudayaan Bali I Wayan Adnyana, dan Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha. Dalam SKB itu Gubernur Koster ikut menandatangani sebagai unsur yang mengetahui.

Menurut Koster, sebenarnya berbagai kesenian di Bali bukanlah seni yang biasa, tetapi seni yang berakar dari karya yang dibuat untuk kepentingan upacara agama maupun adat, dan itu telah menjadi kelebihan Bali.

Ritual keagamaan di Bali juga dijalankan dengan tradisi, adat istiadat, serta diisi dengan berbagai unsur seni seperti gamelan dan tariannya.

“Dalam perjalanannya saya melihat fenomena banyak seni-seni tari sakral yang mulai bergeser, yang dipentaskan, dipertontonkan tidak pada tempatnya. Itu akan menurunkan kesakralannya, merusak tatanan seni itu sendiri,” ucap Koster.

Oleh karena itu, dengan adanya keputusan bersama ini, lanjut Koster, sebagai upaya untuk mempertegas agar masyarakat Bali mengetahui mana yang termasuk tari sakral yang harus dijaga bersama-sama kesakralannya secara utuh dan mana tari sebagai karya kreatif yang boleh dipertontonkan di luar kepentingan upacara.

“Tetapi jangan diartikan ini cara untuk membatasi atau mengekang dalam berkesenian, sama sekali tidak.

ISI Denpasar, sanggar-sanggar seni, sekaa-sekaa (kelompok seni) yang ada di mana-mana, sangat didorong untuk terus berkreasi, menciptakan satu karya seni.

Boleh berbasis pada seni tradisi, seni sakral, tetapi tentu berbeda dalam garapan dan kemasannya,” ucapnya.

Koster mengatakan dalam SKB tersebut memang tidak berisikan sanksi karena bukan merupakan peraturan.

“Jadi, saya kira satu cara hidup tertib tidak harus melalui sanksi, tetapi bentuk kesadaran kita bersama karena kepentingan kita untuk melindungi tari sakral,” kata mantan anggota DPR RI tiga periode itu.

Pihaknya juga akan menyiapkan perda dan pergub untuk menindaklanjuti keputusan bersama tersebut.

Namun sebelum terbitnya regulasi tersebut akan dilakukan sosialisasi oleh pihak terkait seperti Listibya, ISI Denpasar, PHDI, Majelis Desa Adat dan Dinas Kebudayaan.

Poin-poin SKB

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan “Kun” Adnyana mengatakan dalam SKB itu berisi sejumlah poin di antaranya melarang semua pihak mempertunjukkan/mempertontonkan/mempergelarkan/mementaskan segala jenis dan bentuk tari sakral Bali di luar tujuan sakral (upacara dan upakara Agama Hindu).

Kemudian prajuru desa adat, lembaga pemerintah/non-pemerintah, sekaa/sanggar/komunitas dan masyarakat Bali diharuskan melakukan langkah-langkah pencegahan, pengawasan, dan pembinaan dalam rangka penguatan dan pelindungan tari sakral Bali.

Bilamana terjadi pelanggaran terhadap diktum dalam keputusan bersama tersebut akan diambil tindakan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Adapun sejumlah tari sakral Bali yang dilarang dipentaskan di luar tujuan sakral yakni Kelompok Tari Baris Upacara (seperti Baris Katekok Jago, Baris Presi, Baris Gede, Baris Omang, Baris Bajra, Baris Tamiang, Baris Tumbak, Baris Panah, Baris Goak, Baris Poleng, Baris Dadap, Baris Pendet, Baris Cina, Baris Memedi, Baris Jangkang dan sebagainya) dan Kelompok Tari Sanghyang (Sanghyang Dedari, Sangyang Deling, Sanghyang Bojog, Sanghyang Jaran, Sanghyang Lelipi, Sanghyang Celeng, Sanghyang Kuluk, Sanghyang Memedi, Sanghyang Lesung, Sanghyang Jaran Putih, Sanghyang Dongkang, Sanghyang Topeng Legong dan sebagainya).

Kemudian Kelompok Tari Rejang (Rejang Renteng, Rejang Bengkol, Rejang Oyodpadi, Rejang Dewa, Rejang Abuang, Rejang Sutri, Rejang Onying, Rejang Lilit, Rejang Sari, Rejang Lilit, Rejang Gelung, Rejang Serati dan sebagainya), Kelompok Tari Barong Upacara (Barong Brutuk, Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Macan, Barong Kidang, Barong Asu, Barong Singa, Barong Gajah, Baring Landung, Barong Dawang-Dawang, dan Barong Kedingkling.

Berikutnya yang dimasukkan dalam tari sakral Bali yakni tari Pendet Upacara, tari Kincang-Kincung, tari Sraman, tari Abuang/Mabuang, tari Gayung, tari Janger Maborbor, tari Talek/Sandaran, tari Topeng Sidakarya, tari Sutri, tari Gandrung/Gandrangan Upacara, tari Gambuh Upacara, tari Wayang Wong Upacara, Wayang Kulit Sapuh Leger, Wayang Kulit Sudamala/Wayang Lemah, serta tari sakral lainnya yang menjadi bagian ritus, upacara, dan upakara yang dilangsungkan di berbagai pura dan wilayah desa adat.

Pendataan Tari Sakral

Sementara itu, Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Bali Prof Dr I Made Bandem mengatakan kalau tari sakral ditarikan di tempat yang profan maka akan kehilangan mutu seninya.

“Seni sakral yang terpenting itu bukan estetikanya, tetapi nilai religiusnya. Dari penelitian yang kami lakukan, masyarakat Bali juga menginginkan tari sakral tetap dipelihara dan dijaga,” ucapnya.

Pendataan tari sakral telah disusun berdasarkan rumusan tahun 1971 dengan klasifikasi menjadi tari Wali (Sakral), Bebali (Upacara), dan Balih-Balihan (hiburan).

Berdasarkan pendataan Listibya tahun 1992, ada 6.512 kelompok seni di Bali yang 70 persennya mengusung tari sakral kelompok Wali dan Bebali, kemudian pada 2015, sedikitnya ada 10.049 kelompok atau sekaa seni di Bali yang tetap dominan dengan tari sakralnya.

“Dengan demikian, kita perlu memproteksi tari sakral karena menjadi sumber penciptaan dari tari Bali lainnya,” ujarnya.

Apalagi, lanjut Prof Bandem, tari sakral Bali juga telah diinskripsi oleh UNESCO, sehingga harus diberikan pelindungan di tengah berbagai perubahan zaman.

Sakral itu menyangkut tempat pementasan, proses menarikan, maupun atribut yang digunakan.

Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet (Ratu Aji), sepakat tari sakral harus mulai ditertibkan pergelarannya.

Selanjutnya, SKB yang ditandatangani oleh lintas lembaga ini penting untuk dihormati bersama demi kepentingan seluruh masyarakat Bali.

Menurut Ratu Aji yang menjadi alasan wisatawan dari seluruh dunia datang ke Bali, tak lain karena taksu Bali.

Mengapa taksu bisa keluar? Pertama, karena upacara yang dilaksanakan secara benar, maka taksunya memvibrasi seluruh alam dan jagat Bali.

Kedua, karena doa-doa dan puja-puja sulinggih yang setiap hari nyurya sewana (melantunkan doa setiap pagi).

Ketiga, pinandita dan tokoh-tokoh agama suci yang selalu menjalankan Tri Kaya Parisudha (berpikir, berkata dan berbuat yang baik).

Dan keempat, dalam setiap upacara keagamaan di Bali selalu ada panca gita, kul-kul, bebalian dan ngewali yang merupakan tari-tarian sakral.

“Oleh karena itu semua harus kita jaga kesakralannya. Sulinggih kesakralannya dijaga, upacara kesakralannya dijaga, tari-tarian wali dan sakral dijaga. Inilah yang menjadi taksunya Bali,” tutur Ratu Aji usai penandatanganan SKB, kemarin.

Dikatakannya sudah banyak tarian kreasi yang diciptakan, yang bisa dipertontonkan, sehingga tidak harus mengambil tari sakral untuk dipertontonkan secara sembarangan, termasuk untuk memecahkan rekor MURI. (ant/wem)

Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Ini Deretan Tari Sakral di Bali yang Dilarang untuk MURI & Tak Boleh Dipentaskan di Hotel, https://bali.tribunnews.com/2019/09/18/ini-deretan-tari-sakral-di-bali-yang-dilarang-untuk-muri-tak-boleh-dipentaskan-di-hotel?page=all.
Penulis: Wema Satya Dinata
Editor: Ady Sucipto

Kritik dan Saran

    Copyright © 2018 All Right Reserved