Indonesia “Ramah” Gempa, Bagaimana Menyikapinya?

: 04 Oct 2018

 

SONORABALI.com – Bagian Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut, potensi kerawanan gempa bumi dan tsunami merata di seluruh wilayah Indonesia. Negara ini terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif utama dunia, yakni Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia.

Gempa bumi juga berpotensi tsunami, tergantung kekuatan gempa, letak pusat gempa, dan kedalaman gempanya. Diketahui, sumber gempa di Indonesia berasal dari zona subduksi dan sesar aktif di darat.

Zona tersebut membentang di sebelah barat Sumatera, selatan pulau Jawa, selatan Bali dan Nusa Tenggara, kemudian membelok di Kepulauan Maluku yang membentuk palung laut. Sesar aktif di darat tersebut antara lain Sesar Besar Sumatera yang memanjang dari utara sampai selatan di Sumatera.

Sementara di Jawa terdapat Sesar Cimandiri, Sesar Lembang, Sesar Baribis, dan Sesar Opak. Selain itu ada Sesar Belakang Busur Flores di utara kepulauan Nusa Tenggara, Sesar Palu-Koro di Sulteng, Sesar Tairura-Aiduna, hingga Sesar Sorong.

“Sampai saat ini, ahli katakan itu penyebab kejadian-kejadian gempa karena tumpukan lempeng yang aktif sehingga membuat retakan di sekitarnya,” kata Kepala Bagian Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar, Rabu (3/10/2018).

Dari seluruh pulau di Indonesia, menurut Rudy, Pulau Kalimantan lebih sedikit potensi gempa bumi meski masih terdapat beberapa titik lemahnya.

“Sehingga potensi itu di beberapa tempat sama, hanya saja satu tempat dengan tempat lain pasti beda secara kondisi geologis dan morfologinya, bebatuannya, strukturnya, beda,” kata dia. Antisipasi bencana Bencana tak dapat dihindari, namun kehadirannya bisa diantisipasi.

Sejauh ini, belum ada teknologi yang dapat memprediksi kapan akan terjadi gempa bumi berikut magnitudonya. Hal ini disebabkan sifat gempa yang dtaangnya tiba-tiba. Berbeda dengan tsunami yang bisa diprediksi dengan melihat ukuran gelombang laut.

“Hingga saat ini, yang dapat diprediksi adalah potensi maksimum magnituda dan dampak intensitasnya,” kata Rudy.

Saat ini yang terpenting adalah bagaimana memitigasi atau mengurangi risiko bencana. Di sisi lain badan geologi terus berinovasi dengan teknologi canggih agar dapat mengantisipasi bencana sejak dini. Salah satu caranya dengan membenahi tata ruang suatu wilayah, apalagi yang rawan gempa. Saat membangun kota atau wilayah yang memiliki kondisi geologi aktif perlu hati-hati.

Penata kota harus menguasai medan tersebut seberapa besar potensi bencananya. Indonesia belajar dari tsunami yang terjadi di Aceh pada 2004 silam. Setelah itu, lahir Undang-undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang yang mengganti UU Nomor 24 1992.

Di sana diatur bagaimana membangun tata ruang berbasis teknologi untuk meminimalisir dampak bencana alam.

“Memang harganya mahal. Sejak 2004 itu, harus membangun tata ruang berbasis teknologi, berawal dari kejadian di aceh,” kata Rudy.

Rudy mengatakan, dalam proses penyusunan tata ruang, harus mempertimbangkan kawasan yang berpotensi bencana. Hal ini merupakan cara bagaimana penghuni wilayah tersebut beradaptasi dengan alam. Sebab, lempengan dan palung di bawah daratan sudah terbentuk sejak ribuan tahun lalu sehingga manusia yang harus beradaptasi.

“Kita beradaptasi dengan bangunan sesuai kaidah. Kita bikin bangunan yang tahan gempa kalau tidak bisa pindah ke tempat lain,” kata dia. Di sisi lain, Rudy menekankan agar masyarakat selalu waspada dan mempersiapkan diri menghadapinya karena tidak dapat diperkirakan kapan gempa terjadi.

“Di manapun wilayahnya, harus nelakukan kewaspadaan dan siap siaga terhadap gempa dan tsunami,” kata dia.

Sumber : Kompas.com

Kritik dan Saran

    Copyright © 2018 All Right Reserved