SONORABALI.com- Sebanyak 540 juta penduduk dunia menderita gangguan jiwa.
Sedangkan angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa yaitu 50 persen hingga 92 persen.
Hal tersebut dikatakan oleh Bambang Daryanto Putro, Dosen Antropologi Unud dalam orasinya dengan judul Konstruksi Stigma Gangguan Jiwa bertempat di Auditorium Widya Sabha Mandala Prof. IB Mantra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Kamis (20/9/2018) pagi.
Ia menambahkan hal ini diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien gangguan jiwa dan korban atau kurangnya dukungan sosial dari keluarga atau masyarakat dan meningkatnya stres masyarakat.
“Dari data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, Provinsi Bali masuk daftar 5 besar gangguan jiwa berat. Peringkatnya yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Aceh, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Bali dan Jawa Tengah,” kata Bambang.
Saat ini banyak orang beranggapan bahwa gangguan jiwa adalah noda akibat dosa manusia sehingga masyarakat menangani dengan rasa takut dan menghindar.
Dengan adanya kekeliruan ini menyebabkan orang yang mengalami gangguan jiwa (ODGJ) belum mendapatkan penanganan yang baik.
Banyak ODGJ yang takut dan tidak suka ditangani oleh dokter maupun psikolog, bahkan ada yang marah dan tersinggung dan mengganggap dirinya tidak sakit.
“Walaupun sudah di RSJ dan sudah kembali di masyarakat tetap mendapat perlakuan diskriminatif. Ini karena adanya diagnosis dokter sebagai seorang yang memiliki identitas diri sebagai individu berbahaya. Itulah kesalahan masyarakat berpikir salah dan ketidaktahuan publik,” katanya.
Seseorang yang mengidap gangguan jiwa berhadapan dengan stigma, diskriminasi, dan marginalisasi.
Karena stigma itu keluarga jadi malu dan masyarakat takut sehingga terjadi pengucilan oleh masyarakat, adanya penundaan pengobatan, memperbesar penderitaan dan menghambat penyembuhan dan menghambat kembalinya penderita ke masyarakat. (*)
Sumber : Tribun bali